SEJARAH
PEMBANGUNAN GAMPONG
Berawal pada
tahun 1945 dimana dilaksanakan pemindahan dan pembangunan kembali meunasah
kecil atau balee berukuran 8x5m dari Lambee tempat meunasah Tok Nawa berada ke
lokasi baru tempat Meunasah Baro
sekarang berada. Pada akhir kepemimpinan Keuchik Sulaiman (tahun 1945)
direncanakan pembangunan meunasah berbentuk rumoh aceh dan baru selesai
dibangun semasa kepemimpinan Keuchik Ibrahim tahun 1960. Saat Keuchik Ibrahim
memegang tampuk pimpinan dan atas kemampuan dan kemauan masyarakat berhasil
merehab sumur pada tanggal 5 Mei 1955 yang dikerjakan secara gotong-royong oleh pemuda Meunasah Baro dan pemuda Meunasah
Moncut.
Pada tahun 1965
masyarakat menganggap perlu membangun
meunasah atau tempat ibadah yang baru. Ide tersebut digerakan dari hasil musyawarah gampong, maka dengan
bergotong royong masyarakat mengambil pupuk gua (ek semantong) di urong (Gua
Siblah ) Lampuuk, kemudian pupuk gua tersebut dijual kepada para petani.
Disamping itu diperoleh dana patungan (ripee) dan uang atau hasil panen padi
dan cengkeh, uang tersebut digunakan untuk membangun meunasah sampai
selesai di tahun 1975.
Dalam tahun 1975
ini masyarakat Meunasah Baro khususnya dan mukim Lhamlhom umumnya merasa
senang dan bahagia karena ada ide dari
sesepuh opinion leader Meunasah Baro Yaitu Bapak M. Noer Naim, yang mana idenya
memasukkan listrik PLN ke Desa Lamlhom dan didukung oleh tokoh masyarakat
lainnya seperti: Zamzam PG, Muhammad Y, Mahmud MK, M. Jalil Sabib, Abdullah
Hasyem, Hasan Ibrahim, T. Adan dan seluruh unsur masyarakat serta MKT (Majelis
Keuchik dan Tengku). Hasil loby Bapak Noer Naim dengan Ka. Kanwil PLN persero
diterima dan dalam tahun ini (1975) masyarakat Lamlhom menggantikan lampu
tradisional dengan listrik.
Dengan masuknya
PLN ke desa maka masyarakat sangat berbahagia karena memudahkan bagi masyarakat
untuk beribadah, pengajian, belajar, perobahan alat rumah tangga ke yang lebih
baik dan modern seperti TV, tape dan lain-lain.
Pada masa 1976
keadaan masyarakat pada umumnya masih sangat minim pembagunannya dengan kata
lain hampir tidak ada, dan kalaupun ada merupakan swadaya masyarakat dan itupun
volumenya sangat kecil hingga adanya perubahan pimpinan pemerintah baik jangka
pendek, menengah dan jangka panjang.
Selama
pemerintahan dikuasi oleh Orde Baru seiring dengan program-program pemerintah
tersebut sudah mulai ada perhatian dari pemerintah untuk mensubsidi bantuan
untuk pembagunan desa/gampong yang besarannya berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan waktu yang dinamakan Bantuan Desa (BANDES). Banyak pembagunan yang
dilaksanakan seperti gedung PKK, Mushalla Wanita, Lapangan volly, membuka jalan
baru, drainase dan infrastruktur lainnya. Dalam masa itu masyarakat merasa
sejahtera karena:
1. Suasana pembangunan
dan keamanan yang kondusif;
2. Harga komoditi
pertanian di pasaran menguntungkan petani;
3. Seluruh gampong
diberi bantuan dana untuk mengembangkan diri;
4. Seluruh desa
diberikan kesempatan untuk ikut lomba desa;
5. Desa Meunasah Baro
Lamlhom alhamdulillah pernah berhasil memperoleh juara 1 Lomba Desa tingkat
Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1994.
Dalam dekade tahun 1998 s.d 2005 walaupun tetap mendapat bantuan dari
pemerintah namun merupakan tahun yang paling meresahkan masyarakat secara umum
karena oleh situasi negara sedang dilanda krisis moneter berkepanjangan dimana
harga semua komoditas dan semua kebutuhan masyarakat naik, ditambah lagi dengan
konflik dimana-mana, keamanan tidak kondusif. Akibat daripada konflik ini
segala proyek/rencana pembangunan milik pemerintah tidak berjalan sebagaimana
mestinya, demikian juga rencana yang akan dilaksanakan oleh masyarakat.
Di tahun ini pula sebuah
musibah yang paling dahsyat menimpa pesisir barat pantai Aceh pada hari Minggu
tanggal 24 Desember 2004 sehingga meluluhlantakkan sarana dan prasarana gampong yang telah dibangun
oleh masyarakat seperti balai meunasah,
mushalla wanita, gedung PKK, sarana prasarana olahraga, juga termasuk
rumah-rumah masyarakat gampong Meunasah Baro hancur dibawa gelombang sebanyak 50
unit rumah. Pasca tsunami LSM dari berbagai provinsi di tanah air masuk ke Aceh
mengevakuasi sisa-sisa mayat yang belum habis dievakuasi oleh masyarakat
setempat terutama yang tertimbun sampah dan puing.
Kemudian tidak kalah pentingnya NGO asing masuk ke desa-desa dengan membawa
alat berat untuk membersihkan sampah/puing dan membantu membersihkan
sumur-sumur milik masyarakat dengan menggunakan peralatan modern untuk
mensterilkan air konsumsi masyarakat. Namun sekarang masyarakat sangat
mengharapkan BRR untuk dapat memperoleh rumah bantuan tambahan karena ada
masyarakat yang belum punya rumah dan meminta dana untuk merehab rumah yang
tidak rusak berat, di samping itu juga meminta sarana dan prasarana yang lain
seperti: lampu penerangan jalan, jalan hotmix dan water lading (Air Minum).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar